
Jenewa, Swiss – Pertemuan puncak di Jenewa yang berlangsung hingga 14 Agustus 2025 menjadi ajang pertarungan sengit dalam upaya global mengatasi krisis sampah plastik. Lebih dari 170 negara berkumpul, berharap mencapai kesepakatan mengikat untuk mengurangi produksi dan limbah plastik yang semakin mengancam planet Bumi. Kegagalan negosiasi serupa di Busan tahun lalu semakin mempertegas urgensi situasi ini.
Banjir Plastik: Ancaman Nyata bagi Kehidupan
Dunia menghasilkan 413 juta ton plastik setiap tahunnya – setara dengan isi lebih dari setengah juta kolam renang Olimpiade. Namun, hanya 9% yang didaur ulang. Sisanya mencemari laut, tanah, dan udara, mengancam kesehatan manusia dan ekosistem. Parahnya, mikroplastik, hasil degradasi plastik, telah ditemukan dalam tubuh manusia, menunjukkan dampaknya yang meluas.
Perdebatan Sengit: Tiga Poin Krusial
Tiga isu utama mendominasi perdebatan: pembatasan produksi plastik, peningkatan pengelolaan limbah plastik berbahaya, dan pendanaan bagi negara berkembang untuk menjalankan perjanjian yang disepakati.
Sekitar 100 negara, termasuk banyak negara di Afrika, Amerika Latin, serta Jerman dan Uni Eropa, mendukung perjanjian yang ambisius, mencakup pengurangan produksi plastik. Namun, negara-negara produsen plastik dan minyak, yang tergabung dalam kelompok yang disebut “Koalisi Sepemikiran” (antara lain Rusia, Iran, dan Arab Saudi), menentang regulasi ketat. Mereka ngotot mempertahankan produksi seperti biasa dan menolak pembatasan permintaan, misalnya larangan plastik sekali pakai.
Industri plastik melihat krisis ini sebagai masalah pengelolaan sampah, bukan produksi berlebih. Mereka mendorong fokus pada pengumpulan sampah, edukasi konsumen, dan peningkatan daur ulang. Namun, pendekatan ini dinilai tidak cukup mengatasi akar permasalahan: produksi plastik yang tak terkendali.
Melanie Bergmann, ahli biologi laut dari Alfred-Wegener-Institut, menekankan pentingnya mengurangi produksi plastik, di samping upaya daur ulang dan pengelolaan sampah. Ia memperingatkan bahwa sistem daur ulang negara maju pun kewalahan menghadapi jumlah sampah plastik yang terus meningkat. Jerman, contohnya, menghabiskan 16 miliar euro per tahun (0,4% PDB) untuk pengelolaan sampah, dan porsi sampah plastik terus naik.
Aleksandar Rankovic dari think tank Common Initiative mengkritik hipokrisi negara-negara Barat yang gembar-gembor peduli iklim, namun minim aksi nyata dalam mengurangi produksi plastik. Jerman, sebagai produsen plastik terbesar di Eropa, menjadi contoh nyata.
Lobi Industri: Bayangan di Balik Negosiasi
Di Jenewa, ratusan perwakilan industri plastik dan kimia hadir, jumlahnya bahkan melampaui delegasi Uni Eropa. Laporan adanya upaya lobi untuk melemahkan riset ilmiah dan intimidasi terhadap ilmuwan yang meneliti dampak berbahaya bahan kimia plastik juga mencuat.
Harapan dan Keraguan: Masa Depan Plastik
Konferensi Jenewa merupakan ujian krusial bagi komitmen global dalam mengatasi krisis plastik. Skeptisisme masih tinggi, sementara waktu semakin mendesak. Produksi plastik diperkirakan akan berlipat ganda dalam 20 tahun ke depan. Perjanjian yang efektif menjadi harapan terakhir untuk mencegah bencana lingkungan yang lebih besar. Akankah Jenewa menjadi titik balik, atau hanya babak baru dalam pertarungan melawan sampah plastik? Kita tunggu hasil akhirnya.
Sumber: Deutsche Welle (DW) – 6 Agustus 2025.