Dokumen/Arsip
Jakarta, 18 Januari 2025 – Kasus dr. Tunggul P. Sihombing, MHA, yang divonis 26 tahun penjara menimbulkan pertanyaan serius tentang keadilan hukum di Indonesia. Ketua Forum Jurnalis Peduli Keadilan, Jalaluddin, menyoroti sejumlah kejanggalan dalam proses hukum ini, khususnya terkait kekebalan hukum yang dinikmati pihak swasta.
Jalaluddin menyatakan, “Melegalisasi kriminilisasi kepada dr. Tunggul P. Sihombing, MHA dengan hukuman 26 tahun penjara demi untuk melindungi penguasa dan pengusaha pelaku kejahatan.” Ia menuding bahwa Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang, Jakarta Timur, telah melanggar UU dalam melaksanakan eksekusi terhadap dr. Tunggul, dengan sejumlah kesalahan fatal, seperti:
– Kesalahan dalam menentukan unsur hukum: Jalaluddin menuding adanya kesalahan dalam menentukan unsur perbuatan melawan hukum, unsur memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi, dan unsur kerugian keuangan negara. Hal ini, menurutnya, melanggar pasal 153 ayat 2 juncto ayat 3 juncto pasal 197 ayat 1 juncto ayat 2 UU nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
– Kesalahan dalam proses eksekusi: Jalaluddin juga menuding adanya kesalahan dalam petikan dan putusan dasar eksekusi, yang tidak ditandatangani oleh hakim dan panitera pengganti. Hal ini, menurutnya, melanggar pasal 200 Juncto ayat 2 UU nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP juncto pasal 50 ayat 2 UU No 48 tentang kekuasaan kehakiman.
– Keterlambatan eksekusi: Kasus dr. Tunggul, yang sudah berkekuatan hukum tetap lebih dari 5 tahun, belum kunjung dieksekusi. Hal ini, menurut Jalaluddin, tidak sesuai dengan perintah pada 197 Ayat 2 Juncto Pasal 270 & 277 UU nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Jalaluddin juga menyoroti adanya Obstruction Of Justice dan penyalahgunaan anggaran penegakan hukum dalam kasus ini. Menurutnya, dr. Tunggul menjadi tersangka/terdakwa/terpidana tunggal tanpa melibatkan pihak swasta penyedia barang atau jasa, padahal kasus ini melibatkan tindak pidana pencucian uang. Ia pun mempertanyakan mengapa pemilik/pimpinan/staf PT AN, yang merupakan subjek hukum sempurna, luput dari tanggung jawab pidana.
Jalaluddin mendesak Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan RI untuk memeriksa dan mengambil tindakan koreksi atas pelanggaran hukum yang terjadi. Ia berharap kasus ini menjadi momentum untuk mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan dan mencegah praktik mafia hukum di Lapas. (TIM/Red)